Kamis, 02 Agustus 2007

AKHLAK, ETIKA, MORAL

(Tinjauan Definitive dan Karakteristik Dalam Ajaran Islam)

  1. Pendahuluan

Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.

Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.

Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.[1]

  1. Pembahasan

Dalam berbagai literature tentang ilmu akhlak islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.

Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).

Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.[2]

a. Akhlak

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.[3]

b. Etika

Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.

Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.

Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.

Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.

c. Moral

Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.

Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.

Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.

Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.

Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.

Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.

Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.

Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.

d. Karakteristik dalam ajaran Islam

Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.

Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.

Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.

Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).

  1. Penutup

Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.

Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.

Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.

Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.

Daftar Pustaka

Achmad, Mudlor. Tt. Etika dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.

Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera. Jakarta.

Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa. Bandung.

Halim, Ridwan. 1987. Hukum Adat dalam Tanya Jawab. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlak. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. Yogyakarta.

Kusumamihardja, Supan dkk. 1978. Studia Islamica. Pt Giri Mukti Pasaka. Jakarta.

Masyhur, Kahar. 1986. Meninjau berbagai Ajaran; Budipekerti/Etika dengan Ajaran Islam. Kalam Mulia. Jakarta.

Mustofa, Ahmad. 1999. Ilmu Budaya Dasar. CV Pustaka Setia. Bandung.

Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Rifa'i, Mohammad. 1987. 300 Hadits Bekal Dakwah dan Pembina Pribadi Muslim. Wicaksana. Semarang.

Salam, Zarkasji Abdul. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh. Lembaga Studi Filsafat Islam. Yogyakarta.

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN IMAN


Setelah kita memahami makna syahadat, kita juga harus tahu apa yang membatalkan persaksian itu, hal ini sangat penting dan harus diketahui oleh setiap orang yang mengucapkan syahadatain. Karena kita mendapati banyak orang dalam masyarakat kita yang mengucapkan syahadatain itu, namun ia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan syahadat tersebut, baik itu karena tidak tahu atau pun disengaja.

Di sini kami akan menjelaskan sepuluh hal yang membatalkan keislaman seseorang, sebagaimana dijelaskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dengan sedikit penjelasannya. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:

A. Syirik dalam beribadah, sebagaimana firman Allah SWT:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan mengampuni segala dosa (selain syirik) bagi yang dikehendaki-Nya." (Q.S. An-Nisa': 48).
begitu pula firman-Nya:
"Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah. Maka Allah telah haramkan baginya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu satu penolong pun." (Q.S. Al-Maidah 72).

Allah menyebut masalah syirik, karena hal itu adalah dosa terbesar yang memungkinkan dilakukan oleh manusia, sementara tidak ada dosa yang lebih besar dari syirik sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas, disertai pernyataan Allah bahwa Dia tidak akan mengampuni dosa syirik.

Syirik ada dua macam, yaitu:
1- Syirik Besar (Syirik Akbar)
Syirik ini apabila dilakukan oleh seorang muslim maka dia dinyatakan keluar dari Islam dan diazab oleh Allah selama-lamanya dalam api neraka. Namun jika dia bertaubat sebelum meninggal, maka Allah akan mengampuninya.
Contok syirik ini adalah: Penyembahan patung, hewan, bebatuan, pepohonan yang sering dilakukan kalangan animisme dan dinamisme atau bentuk penyembahan lain yang kita dapati dalam masyarakat kita.

2- Syirik Kecil (Syirik Ashghar)
Walaupun dinamakan Syirik Kecil, tetapi itu merupakan salah satu dosa besar, meski pelakunya tidak dinyatakan keluar dari agama Islam.
Contoh Syirik ini adalah: Bersumpah dengan nama selain Allah, baik nama Rasul maupun malaikat atau yang lainnya. Semisal: "Demi Nabi Muhammad, aku akan berbuat ini."
Contoh lain adalah Riya'. Riya' adalah berbuat sesuatu agar dilihat oleh orang dengan tujuan supaya mendapatkan pujian, sanjungan atau hadiah. Perbuatan ini sepertinya sepele tetapi ini adalah bagian dari syirik kecil yang merupakan dosa besar, sehingga Rasulullah SAW. banyak memberi peringatan dalam masalah ini. Maka kita harus benar-benar waspada terhadap masalah syirik ini, terutama Syirik Akbar karena perbuatan itu dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam.

B. Menjadikan makhluk sebagai perantara antara dia dan Allah SWT. dengan melakukan amalan-amalan seperti berdoa, meminta syafaat juga minta ampunan melalui media perantara yang mungkin berbentuk kuburan wali, pohon-pohon besar yang dianggap keramat, benda-benda pusaka semacam keris atau tombak.

Ini adalah kekufuran yang banyak melanda kaum muslimin dan sangat berbahaya, karena pelaku perbuatan tersebut berkedok Islam, padahal di dalamnya sangat jelas terdapat kekufuran. Misalnya ketika dia tertimpa musibah dia meminta kepada seorang wali yang sudah meninggal agar dilepaskan dari musibah, dengan anggapan bahwa wali itu akan lebih diterima kalau dia yang meminta kepada Allah.

Si pelaku melakukan itu tidak lain karena tidak mengenal ajaran Islam yang benar. Dalih yang mereka pakai dalam melakukan hal itu adalah dengan permisalan, kalau seorang meminta sesuatu kepada seorang raja tentu ia tidak akan langsung meminta kepadanya, karena dia harus menyampaikan permintaannya melalui "pembisik" atau orang dekatnya yang kemudian akan menyampaikan permintaan itu kepada sang raja.

Dari sini kita bisa simpulkan dari alasan mereka bahwa Allah Ta'ala disetarakan dengan makhluk yang lemah yang dalam permisalan mereka adalah seorang raja.

Kita tidak bisa samakan antara makhluk lemah yang banyak kekurangan dengan Allah Yang maha sempurna dan Yang mengetahui segala sesuatu. Karena bagaimanapun juga, makhluk penuh dengan keterbatasan, walaupun dia seorang raja, karena dia tidak tahu kebutuhan rakyatnya dan ketidak-puasan yang ada di dalam hati mereka. Oleh karena itu, seorang raja tentu membutuhkan orang lain yang membantunya. Hal ini sangat berlainan dengan keberadaan Allah Yang maha mengetahui apa yang diminta oleh manusia dan apa yang berada di dalam hati mereka.

Siapa saja yang memperhatikan dan menelaah Al-Qur'an tentu ia akan mendapati pernyataan Allah bahwa para pelaku Syirik Akbar ini telah keluar dari Islam. Firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah: "Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara meraka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidak bergun syafa'at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkannya memperoleh syafa'at itu." (Q.S. Saba 22-23).

Firman-Nya: "Katakanlah: "Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada tuhan mereka. Siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya? Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti." (Q.S. Saba 56-57).

Firman-Nya: "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata:) "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya." (Q.S. Az-Zumar 3).

Masih banyak lagi ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk mengikhlaskan diri dalam beribadah. Ketiga ayat di atas membantah pendapat mereka bahwa tidaklah mereka meminta kepada wali atau orang shaleh karena ia kotor, maka agar permintaannya dikabulkan Allah, mereka jadikanlah para wali dan orang-orang shaleh itu sebagai perantara. Sebagaimana disebutkan dalam ayat ketiga di atas, bahwa mereka tidaklah menyembah wali atau orang-orang shaleh tersebut, namun yang mereka maksudkan adalah agar para wali tersebut mendekatkan mereka kepada Allah.

C. Tidak mengkafirkan kelompok musyrikin, ragu-ragu dengan kekafiran mereka atau membenarkan madzhab mereka. Sikap mengkafirkan orang musyrik harus dimiliki oleh setiap muslim karena Allah Ta'ala telah mengkafirkan mereka, sebagaimana disebutkan dalam banyak firman-Nya, dan memerintahkan untuk memerangi mereka karena kebohongan mereka dengan menjadikan makhluk Allah sebagai sekutu-Nya. Maka jika ia tidak mengkafirkan mereka berarti menentang dengan perintah Allah.

Begitu juga orang yang membenarkan madzhab mereka, telah keluar dari Islam berdasarkan kesepakatan ulama' tetapi alangkah menyedihkan bahwa ternyata pendapat yang salah seperti ini tersebar pada masyarakat kita, seperti pendapat bahwa semua agama adalah benar. Pendapat-pendapat yang semacam ini banyak diserukan oleh orang-orang yang otaknya telah teracuni pemikiran yang mereka bawa dari negeri barat, yang lebih ironis lagi hal ini diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai tingkat atas.

Nabi SAW bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan "Laa ilaaha illallah" dan mengingkari sesuatu yang disembah selain Allah maka telah haram harta dan darahnya dan perhitungannya kembalikan kepada Allah."

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa harta dan darah seseorang adalah menjadi haram hukumnya dengan cukup berkata "Laa ilaaha illallah" namun dengan syarat harus mengingkari semua sesembahan selain Allah, tetapi jika tetap meyakini kebenaran pendapat seorang musyrik dan tidak mengkafirkan mereka, maka darah dan hartanya halal, karena dia telah menyalahi agama yang dibawa Nabi Ibrahim alaihis salam, di mana beliau adalah contoh dan suri tauladan bagi kita kaum muslimin sebagaimana firman-Nya yang mengisahkan tentang sikap dan pendirian beliau terhadap orang-orang musyrik.

"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (Q.S. Al-Mumtahanah 4).

Dan firman-Nya: "Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berperang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui." (Q.S. Al-Baqarah 256).

Jadi dari dua ayat di atas, sangatlah jelas bagaimana seharusnya seorang mu'min bersikap terhadap orang-orang kafir.

Wallahu a'lam